Home » » Sejarah Kristen Jawa

Sejarah Kristen Jawa

Written By Anggi Dungita Putri on Saturday, 16 July 2011 | 11:07


Resensi Buku
Komunitas Sadrach, Ekspresi Kekristenan Jawa Abad XIX
Sutarman S Partonadi, 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya Jakarta: Gunung Mulia; Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
Karangjasa adalah sebuah desa terpencil di bagian selatan Bagelen, bekas karsidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan kedua abad XIX desa ini dikenal oleh para pejabat kolonial Belanda , misi gereja-gereja Gereformeerd Belanda (Zending van de Gereformeerde Kerken in Netherland, selanjutnya disebut ZGKN), dan orang-orang kristen Jawa. Desa kecil ini merupakan kediaman seorang besar, Sadrach Surapranata, pelopor penginjil Jawa menjadi pemimpin kharismatik orang-orang Kristen Jawa diseluruh Jawa Tengah. Dia memiliki pengaruh besar bagi para pengikutnya dan sangat dihargai sebagai bapak spiriitual mereka. Akibatnya, makin lama karangjasa makin menjadi pusat kekristenan orang Jawa, semacam Mekkah,seperti diuraikan L. W. C. Van Den Berg.
Buku yang berjudul "Komunitas Sadrach dan akar kontekstualnya",suatu ekspresi keKristenan Jawa pada abad XIX, adalah salah satu buku yang ditulis dan diterjemahkan mengenai sosok Kiai Sadrach dan jemaatnya, yang disebut Golongane Wong Kristen Mardika. Sebagai tokoh yang kharismatis dan selalu tampil penuh wibawa, pribadi Kiai Sadrach tidak pernah berhenti menarik minat peneliti sejarah gereja. Kehidupan pelayanannya yang bercorak kiai dan guru ngelmu khas Jawa benar-benar dapat membuka pengertian kita tentang bagaimana Injil Kristus telah dihayati oleh orang Jawa, khususnya pada pertengahan abad XIX. Ketika itulah Injil mulai memasuki daerah pedalaman pulau Jawa, setelah sebelumnya dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa.
Dikalangan jemaat-jemaat Kiai Sadrach bentuk-bentuk pembinaan dan ikatan spiritual yang dikembangkan dengan gaya paguron Jawa sangatlah menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, terutama bagi jemaat di masa kini dalam usahanya meneruskan proses pencarian pola pembinaan/pemuridan yang relevan dan kontekstual, dalam rangka mencapai jati diri rohani yang relevan dan kontekstual, dalam rangka mencapai jati diri rohani yang pribumi dan membumi, tanpa meninggalkan nilai-nilai gereja yang umum (katholik) dan rasuli (apostolik). Dalam buku yang diangkat dari disertasi doktoral Pendeta Soetarman S.Partonadi ini terlihat dengan cukup jelas bagaimana Kiai Sadrach telah menempatkan tanggung jawabnya kepada Tuhan dan jemaat-Nya di atas segala-galanya, bahkan di atas tata cara dan tata tertib "gereja zending" Belanda pada waktu itu. Tanpa ragu dan dengan cukup berhasil ia telah mengemas Injil Kristus dalam budaya suku (bangsanya)-nya, sehingga kehidupan jemaat yang dibinanya tidak menjadi tercabut dari akar dan sumber budaya (Jawa)-nya itu. Tentunya di masa awal pertumbuhan sebuah jemaat Kristen, seperti dalam kasus jemaat Kiai Sadrach, keberanian menentukan sikap dan cara seperti tersebut adalah suatu hal yang sangat penting. Melalui Kiai Sadrach, dan jemaat yang telah dibangunnya,gambaran tentang Kristus diantara orang-orang Jawa menjadi sungguh-sungguh nyata. Bukan lagi Belanda dan tidak secara hakiki Jawa, Kristus menjadi terangkat di atas segala-galanya.
Misi Kristen pada Abad XIX
Misi Kristen masuk di Indonesia bersamaan dengan imperialisme baik yang dilaksanakan oleh Gereja Katolik Roma (GKR) pada abad XVI dalam naungan Portugis maupun misi Gereja Protestan yang dibawa oleh Belanda sejak tahun 1605 melalui misi VOC dan misi Indische Kerk. Misi pada saat itu dianggap sebagai milik Negara dan Gereja, oleh karena itu masyarakat pribumi memberikan stigma terhadap Kristen sebagai agama penjajah.
Konsep pemisahan Gereja dan Negara pada abad XIX di Eropa seiring dengan tumbuhnya semangat pekabaran Injil telah menyebabkan perubahan besar dalam pekabaran Injil di Belanda dan juga di Hindia-Belanda. Berbagai usaha penginjilan telah dilakukan baik oleh Gereja maupun organisasi misi. Penginjilan yang dilakukan oleh Gereja ditandai pada tahun 1835 dengan lahirnya Indische Kerk yaitu Gereja Protestan yang merupakan hasil penyatuan dari berbagai denominasi di Indonesia saat itu. Gereja ini disebut juga sebagai “Gereja Negara” namun bukan bertujuan menyebarkan agama Kristen, melainkan hanya melayani umat Kristen yang telah ada. Oleh karena itu tentu saja misi Kristen terhadap masyarakat pribumi kurang diperhatikan. Merasa prihatin dengan keadaan ini maka kelompok pekabar Injil Belanda mulai melakukan kegiatannya di berbagai wilayah seperti NZG (het Nederlandsch Zendeling Genootschaap-Perserikatan Pekabar Injil Belanda) dengan mengirimkan Jellesma pada tahun 1848 yang menandai dimulainya Kristenisasi di Jawa. Selain itu ada juga organisasi misi NGZV (Nederlandsch Gereformeerde Zending Vereeniging-Pekabaran Injil Gereja Gereformeerd Belanda) memiliki wilayah kerja di Jawa Tengah, Perserikatan Injil Menonite Belanda DZV (Doopsgezinde Zendins Vereeniging) memiliki wilayah kerja antara lain Tapanuli Selatan dan bagian utara Jawa Tengah. Jemaat-jemaat Kristen yang dihasilkan lembaga misi tersebut sangat minim dan bersifat eksklusif karena menuntut pemisahan radikal dari budaya pribumi.
Sejarah kekristenan di Jawa Tengah dan Timur justru berasal dari hasil kerja orang-orang awam pensiunan Belanda dan Indo yang mengabdikan hidupnya bagi Kristus. Mereka melakukan kegiatan misi sebelum datangnya organisasi-organisasi pekabar Injil dari Eropa. Diantara penginjil tersebut adalah Emde (lahir 1774), Coolen (1773-1873), FL Anthing (1820-1883), CP Steven-Philips (1824-1876), JC Philips-van Oostrom (1815-1877) dan lain-lainnya. Mereka berhasil membangun jemaat yang bersifat integratif yaitu jemaat Jawa yang tetap menjadi bagian dari budaya dan masyarakat setempat dan jemaat ini dapat tumbuh dengan pesat.
Adapun hambatan pekabaran Injil pada masa itu adalah bahwa orang Jawa masih memandang pekabar Injil Belanda sebagai bagian dari rezim kolonial akibatnya timbul pandangan negatif terhadap para pekabar Injil dan kekristenan. Bahkan orang Kristen Jawa disebut sebagai “landa wurung, Jawa tanggung” artinya mereka bukan orang Belanda maupun orang Jawa. Masyarakat masih menganggap bahwa menjadi Kristen berarti meninggalkan cara hidup “kejawaan” sehingga Kristen lebih dipandang sebagai anti kebudayaan.
Sadrach Dan Komunitasnya
Riwayat kelahiran Sadrach tidak begitu jelas diketahui, tetapi berdasarkan sumber yang dapat dipercaya seperti Adriaanse, Yotham Martareja dan Hayting maka Sadrach diperkirakan lahir sekitar tahun 1835 di dekat Jepara, Demak, yaitu daerah pantai bagian utara Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Radin, setelah menyelesaikan sekolah umum yaitu sekolah Alquran serta belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur lalu kemudian ia tinggal dalam kauman (tempat tinggal muslim yang eksklusif) di Semarang dan menambah nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas.
Ketertarikannya kepada Kristen adalah setelah mengetahui bahwa bekas guru ngelmunya, Kurmen telah menjadi Kristen oleh penginjil Tunggul Wulung. Radin Abas sangat serius dan terkesan dengan pengajaran Tunggul Wulung dan bersamanya ia pergi ke Batavia pada tahun 1866 untuk menemui Anthing. Ia mengambil keputusan untuk dibaptis pada tanggal 14 April 1867 di Indische Kerk, Buitenkerk, dengan mengambil nama baptis Kristen yaitu Sadrach (dalam Alkitab tokoh Sadrach disebutkan dalam Kitab Daniel 3).
Setelah kembali dari Batavia, maka Sadrach mulai membantu penginjilan yang dilakukan oleh Tunggul Wulung di Semarang pada tahun 1868, serta oleh Steven-Philips di Tuksanga, Purwareja setahun kemudian. Ternyata Sadrach memiliki bakat yang besar dalam penginjilan, dalam melakukan penginjilan dia menggunakan metode debat umum yang dipakai guru-guru Jawa, yaitu dengan menantang guru lain untuk berdebat. Guru yang dikalahkan beserta murid-muridnya harus menjadi murid guru yang menang.
Sadrach tinggal bersama Steven-Philips kurang lebih satu tahun sebelum pindah ke Karangjasa sebuah desa di selatan Purworejo. Karangjasa adalah desa pertama tempat Sadrach mendirikan sebuah jemaat Kristen Jawa setempat. Karangjasa menjadi pusat jemaatnya yang mandiri namun Sadrach tetap menganggap Steven-Philips sebagai “pelindung formalnya”, “figur yang menjembatani” dengan para penguasa Belanda, termasuk Indishe Kerk dan pekabar Injil Belanda. Semua murid Sadrach dibaptis oleh pendeta dari Indische Kerk di Purwareja berkat perantaraan Steven-Philips. Pada tahun 1871 gedung Gereja pertama berdiri di Karangjasa sehingga jemaat tidak perlu lagi mengadakan perjalanan ke Purwareja setiap minggu untuk melakukan kebaktian.
Pada akhir tahun 1873 keanggotaan jemaatnya sudah mencapai hampir 2500, suatu hasil yang fantastik dalam sejarah pekabaran Injil Jawa. Sebab jumlah besar ini dicapai hanya dalam waktu 3 tahun (1870-1873), selama masa itu lima Gereja telah didirikan. Setelah meninggalnya Steven-Philips pada tahun 1876, pusat kekristenan Jawa berpindah dan berkembang dari Tuksanga, Purwareja ke Karangjasa, ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan seorang Kiai Kristen Jawa yang berpengaruh. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama “baru”nya menjadi Radin Abas Sadrach Surapranata.
Pesatnya ekspansi jemaat Sadrach membuat pemerintah setempat (Residen Bagelen, W Ligvoet), Indische Kerk (pendeta Heyting) maupun NGZV (Bieger) ingin mengatur dan mengawasi jemaat tersebut dengan berbagai alasan baik politis maupun alasan misi yang ingin mengumpulkan “petobat” dengan cepat dan mudah. Sehingga ketika terjadi wabah cacar dimana pemerintah meminta semua orang agar divaksinasi tetapi Sadrach menolak vaksinasi itu maka terbukalah peluang untuk memecat Sadrach dari kedudukannya dalam jemaat.
Meskipun Residen telah menahannya namun kemudian Gubernur Jenderal membebaskannya karena tidak cukup bukti pada tahun 1882. Wilhelm yang dikenalnya ketika menjalani “tahanan rumah” di rumah Bieger merupakan satu-satunya pekabar Injil yang menaruh perhatian pada nasib malang yang menimpa Sadrach.
Pada tanggal 17 April 1883, ketika para sesepuh berkumpul di Kareangjasa, Wilhelm juga hadir. Pada pertemuan tersebut jemaat secara resmi memberi nama persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardiko (Kelompok orang Kristen yang merdeka) dan mengakui Wilhelm sebagai satu-satunya pendeta mereka. Pada saat itu hasil penginjilan Sadrach sangat mengagumkan, barangkali bisa dicatat sebagai jumlah orang yang bertobat tertinggi dalam sejarah pekabaran Injil di dunia Muslim.
Berbagai polemik mengenai Sadrach telah sampai kepada pimpinan NGZV di Belanda, oleh karena itu diputuskanlah suatu penyelidikan mengenai jemaat-jemaat di Jawa Tengah dengan mengirimkan Lion Cachet, pendeta sebuah jemaat di Rotterdam, ke Jawa Tengah selama kurang lebih satu tahun (1891-1892). Hasil penyelidikan Cachet telah mengakibatkan putusnya hubungan Sadrach dengan NGZV, ajaran Sadrach dinilai salah, bahkan merupakan kebohongan jika diukur dengan sabda Tuhan. Wilhelm yang sangat tertekan akibat tuduhan ini jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 3 Maret 1892.
Namun peristiwa tragis tersebut malah membuat posisi Sadrach semakin kokoh. Di sisi lain, Sadrach juga membina hubungan dengan Apostolische Kerk (yang dianggap suatu sekte). Pada tahun 1899, Sadrach ditahbiskan menjadi Rasul Jawa di Batavia. Kedudukan rasul ini diakui internasional oleh karena itu sekarang ia memiliki hak untuk memberikan sakramen, hak yang sangat didambakannya bertahun-tahun. Sejak saat itu kedudukan Sadrach sebagai pemimpin Gereja adalah sejajar dengan pemimpin Gereja yang lain demikian juga jemaatnya sejajar dengan kelompok jemaat yang lain.
Pada tanggal 14 November 1924 dalam usia 90 tahun, tokoh besar dalam pekabaran Injil di Karangjasa, Radin Abas Sadrach Surapranata, meninggal dengan tenang dirumahnya. Yotham Martareja, anak angkat Sadrach menggantikan ayahnya selama delapan tahun (1925-1933). Perubahan ini selanjutnya juga mempengaruhi perkembangan jemaat Kristen saat itu.
Dalam ketiadaan pemimpin berkepribadian kuat serta adanya kebijakan pekabaran Injil yang baru oleh ZGKN yang dikelola secara professional, telah dibangun sekolah-sekolah dan rumah sakit misi yang menawarkan kualitas hidup lebih baik. Jemaat Sadrach semakin tertinggal jauh dan pada akhirnya jemaat Sadrach, “Gereja” terbesar di Jawa Tengah pada masa hidup Sadrach, berakhir dengan perpecahan yang tak terelakkan sepuluh tahun setelah kematian pendirinya.
Gambaran Komunitas Sadrach
Ciri-ciri khas dan karakter unik dari jemaat Sadrach meliputi tiga bidang yaitu: 1. organisasi, kepemimpinan dan keanggotaan; 2. kebaktian, khotbah dan upacara keagamaan; 3. kehidupan rohani dan jiwa yang mandiri dan merdeka.
Sadrach adalah guru ngelmu dan kiai yang sengaja tidak menaruh perhatian besar pada aspek kelembagaan jemaat. Jemaat lebih bersifat mistis, lebih menekankan spiritualitas ketimbang kelembagaan Gereja. Minimnya sarana transportasi dan komunikasi sedangkan jemaat tersebar pada desa yang berjauhan namun kesatuan antar jemaat tetap dapat dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal antara lain yaitu: hubungan guru-murid yang kental, wewenang Sadrach untuk mengangkat imam-imam setempat, rapat rutin para sesepuh yang diadakan di Karangjasa serta kerjasama para pembantu utama Sadrach. Wilhelm juga berperan membentuk jemaat menjadi “Gereja yang benar”, seperti dilihat dari perumusan pengakuan iman yang unik, pembentukan majelis sinode dan pembentukan jabatan sesepuh (penatua) serta diaken.
Saat itu Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa yang lain dengan sebutan khusus Kiai. Jemaat Sadrach pernah mencapai angka 7000 pada tahun 1890 dan mencapai 20.000 pada saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di seluruh keresidenan Jawa Tengah termasuk pada dua kerajaan saat itu yaitu kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pemberitaan Yesus Kristus sebagai ratu adil penyelamat tampaknya menjadi unsur penarik dalam ngelmu Sadrach.
Jemaat Sadrach mempunyai format kebaktian dan sistem ritual sendiri yang terikat erat dengan tradisi Jawa yang ada, ini terlihat dari bentuk Gereja yang mirip langgar atau mesjid serta pemakaian busana Jawa pada kebaktian. Ada tembang dan dzikiran yang berisi Sepuluh Hukum Allah, Pengakuan Iman Rasuli dan Doa Bapa Kami. Sadrach menyusun buku pegangan sebagai panduan praktis bagi para pengikutnya berisi Doa Bapa Kami dan Sepuluh Perintah Allah bersama ringkasan hukum yang terdapat dalam Matius 22: 37-40. Ketika debat umum yang digunakan dengan guru ngelmu Jawa di dalam mengabarkan Injil, Sadrach menyatakan bahwa Yesus adalah Nabi yang luar biasa karena kebangkitan-Nya dan menjadi Juruslamat yang dapat menyelamatkan semua orang berdosa. Yesus melebihi Nabi lainnya dan kita harus taat kepada Nabi yang paling berkuasa dan mengikuti teladan-Nya. Usaha para anggota jemaat Sadrach untuk mengkristenkan adat dan tatacara muslim Jawa mengesankan, mereka tetap mempertahankan warisan leluhur tanpa mengingkari iman baru mereka dengan mengutamakan kebaktian dan doa ucapan syukur dan dilanjutkan dengan adat kebiasaan Jawa. Sadrach menolak tatacara adat slametan untuk menghormati roh yang sudah meninggal, suran pada bulan sura dan muludan.
Kehidupan spiritual baru jemaat Sadrach terlihat dari cara kehidupan ngelmu (berorientasi kepada diri sendiri) berangsur-angsur diubah menjadi kehidupan dalam Kristus (penyangkalan diri). Perilaku jujur Sadrach mempengaruhi kehidupan jemaat sehingga menjadi saksi pemasyuran Injil yang efektif ditengah-tengah masyarakat Jawa yang bukan Kristen. Sadrach menentang keras poligami, pelacuran dan melarang pesta tradisional tayuban. Mereka tetap menjaga hubungan baik dengan tetangga muslim. Jemaat benar-benar menyadari bahwa sebagai pengikut ratu adil Yesus Kristus, mereka harus menaati perintah-Nya. Guru Injil dan para imam Jawa menganggap Sepuluh Perintah Allah sebagai ngelmu dari ratu adil yang harus ditaati. Mereka menganggap ngelmu yang diajarkan ratu adil Yesus, lebih unggul dibanding segala ngelmu yang lain. Sebagai jemaat yang bebas dan mandiri (mardiko) maka masalah kemiskinan diatasi melalui semangat gotong royong menyewa tanah untuk dibagikan kepada kaum miskin.
Isu-Isu Yang Diangkat Mengenai Komunitas Sadrach
Tuduhan yang paling menonjol pada saat itu terhadap Sadrach dan jemaatnya pada saat itu adalah berkaitan dengan penyimpangan konfesional. Seperti diketahui bahwa para pakar Gereformeerd sangat menentukan arah teologi pekabaran Injil yang khas dari NGZV. Pada saat itu tujuan pekabaran Injil berkembang untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi kemulian Tuhan. Gereja adalah pemilik misi sedangkan organisasi misi seperti NGZV adalah pengganti sementara Gereja dalam menjalankan misi. Kemurnian pemberitaan firman dan mempertahankan iman yang ortodoks adalah ciri pekabaran Injil Gereformeerd yang eksklusif pada saat itu, tujuan utama pekabaran Injil adalah mendirikan Gereja sebagai institusi. Pada abad XIX, kriteria dari Gereja Gereformeerd menjadi tolok ukur satu-satunya bagi para pekabar Injil untuk menentukan ajaran benar dan ajaran sesat. Lion Cachet menggunakan standar ini untuk mengukur kehidupan jemaat Kristen di Jawa Tengah.
Tuduhan yang paling keras terhadap Sadrach baik sebelum maupun sesudah peristiwa vaksinasi adalah bahwa dia menyatakan dirinya sebagai Kristus atau ratu adil dan Sadrach dianggap telah melakukan penipuan terhadap umatnya dengan memutarbalikkan ajaran demi kemulian dan status sosialnya. Isu ini tentu saja dilontarkan oleh para pekabar Injil yang selama ini tidak senang dengan cara penginjilan Sadrach yang menolak untuk bekerjasama dengan mereka. Para pekabar Injil menganggap bahwa Sadrach perlu dibina dan tidak boleh menempati kedudukan sebagai pemimpin jemaat. Oleh karena itu pertentangan Sadrach dengan para pekabar Injil sebenarnya bukan karena masalah doktrin, melainkan masalah kekuasaan atau kalau boleh disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan penjajahan rohani.
Persoalan lain yang mendasar menyangkut ajaran Sadrach adalah tuduhan sinkretisme, ia dituduh telah mencampuradukkan Jawa-isme dengan Injil. Ajaran ngelmu, ratu adil, adat Jawa dari sudut pandang Gereformeerd pada saat itu dianggap memutarbalikkan ajaran Kerajaan Allah. Namun Sadrach bersikeras bahwa petobat Jawa tetap merupakan orang Jawa, ia membela dan mendukung pelestarian adat yang berfungsi memperkaya kehidupan spiritual jemaat.
Secara garis besar tuduhan yang diangkat untuk melawan Sadrach, oleh penulis buku dibagi menjadi dua jenis yaitu, tuduhan yang tidak mendasar dan tuduhan yang mendasar. Semua tuduhan yang mendasar berpangkal tolak dari perbedaan pendapat mengenai sifat utama dan penerapan kontekstualisasi dalam praktek pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa. Menurut penulis para penginjil Barat memandang kontekstualisasi dari sudut pandang yang berbeda sebab pedoman teologis mereka belum cukup komprehensif sehingga mereka lebih mengandalkan semangat, inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan tugas di lapangan.
Pustaka :
1. Sutarman S Partonadi, 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya Jakarta: Gunung Mulia; Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.


Share this article :

+ comments + 3 comments

25 April 2012 at 12:23

wah.. keren mbak jadi pengen kembali ke masa lalu dan ikut berdakwa... he he he

25 April 2012 at 12:26

berdakwah memperjuangkan Islam maksudnya...

4 May 2012 at 13:42

Mksh mas,,,,g bermaksud myebarkan paham mas tu cuma resensi Buku...jgn lupa follow blogku...:)

Post a Comment

Sejarah Kristen Jawa


Resensi Buku
Komunitas Sadrach, Ekspresi Kekristenan Jawa Abad XIX
Sutarman S Partonadi, 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya Jakarta: Gunung Mulia; Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.
Karangjasa adalah sebuah desa terpencil di bagian selatan Bagelen, bekas karsidenan di Jawa Tengah. Sejak pertengahan kedua abad XIX desa ini dikenal oleh para pejabat kolonial Belanda , misi gereja-gereja Gereformeerd Belanda (Zending van de Gereformeerde Kerken in Netherland, selanjutnya disebut ZGKN), dan orang-orang kristen Jawa. Desa kecil ini merupakan kediaman seorang besar, Sadrach Surapranata, pelopor penginjil Jawa menjadi pemimpin kharismatik orang-orang Kristen Jawa diseluruh Jawa Tengah. Dia memiliki pengaruh besar bagi para pengikutnya dan sangat dihargai sebagai bapak spiriitual mereka. Akibatnya, makin lama karangjasa makin menjadi pusat kekristenan orang Jawa, semacam Mekkah,seperti diuraikan L. W. C. Van Den Berg.
Buku yang berjudul "Komunitas Sadrach dan akar kontekstualnya",suatu ekspresi keKristenan Jawa pada abad XIX, adalah salah satu buku yang ditulis dan diterjemahkan mengenai sosok Kiai Sadrach dan jemaatnya, yang disebut Golongane Wong Kristen Mardika. Sebagai tokoh yang kharismatis dan selalu tampil penuh wibawa, pribadi Kiai Sadrach tidak pernah berhenti menarik minat peneliti sejarah gereja. Kehidupan pelayanannya yang bercorak kiai dan guru ngelmu khas Jawa benar-benar dapat membuka pengertian kita tentang bagaimana Injil Kristus telah dihayati oleh orang Jawa, khususnya pada pertengahan abad XIX. Ketika itulah Injil mulai memasuki daerah pedalaman pulau Jawa, setelah sebelumnya dilarang oleh pemerintah Hindia Belanda yang berkuasa.
Dikalangan jemaat-jemaat Kiai Sadrach bentuk-bentuk pembinaan dan ikatan spiritual yang dikembangkan dengan gaya paguron Jawa sangatlah menarik untuk dikaji secara lebih mendalam, terutama bagi jemaat di masa kini dalam usahanya meneruskan proses pencarian pola pembinaan/pemuridan yang relevan dan kontekstual, dalam rangka mencapai jati diri rohani yang relevan dan kontekstual, dalam rangka mencapai jati diri rohani yang pribumi dan membumi, tanpa meninggalkan nilai-nilai gereja yang umum (katholik) dan rasuli (apostolik). Dalam buku yang diangkat dari disertasi doktoral Pendeta Soetarman S.Partonadi ini terlihat dengan cukup jelas bagaimana Kiai Sadrach telah menempatkan tanggung jawabnya kepada Tuhan dan jemaat-Nya di atas segala-galanya, bahkan di atas tata cara dan tata tertib "gereja zending" Belanda pada waktu itu. Tanpa ragu dan dengan cukup berhasil ia telah mengemas Injil Kristus dalam budaya suku (bangsanya)-nya, sehingga kehidupan jemaat yang dibinanya tidak menjadi tercabut dari akar dan sumber budaya (Jawa)-nya itu. Tentunya di masa awal pertumbuhan sebuah jemaat Kristen, seperti dalam kasus jemaat Kiai Sadrach, keberanian menentukan sikap dan cara seperti tersebut adalah suatu hal yang sangat penting. Melalui Kiai Sadrach, dan jemaat yang telah dibangunnya,gambaran tentang Kristus diantara orang-orang Jawa menjadi sungguh-sungguh nyata. Bukan lagi Belanda dan tidak secara hakiki Jawa, Kristus menjadi terangkat di atas segala-galanya.
Misi Kristen pada Abad XIX
Misi Kristen masuk di Indonesia bersamaan dengan imperialisme baik yang dilaksanakan oleh Gereja Katolik Roma (GKR) pada abad XVI dalam naungan Portugis maupun misi Gereja Protestan yang dibawa oleh Belanda sejak tahun 1605 melalui misi VOC dan misi Indische Kerk. Misi pada saat itu dianggap sebagai milik Negara dan Gereja, oleh karena itu masyarakat pribumi memberikan stigma terhadap Kristen sebagai agama penjajah.
Konsep pemisahan Gereja dan Negara pada abad XIX di Eropa seiring dengan tumbuhnya semangat pekabaran Injil telah menyebabkan perubahan besar dalam pekabaran Injil di Belanda dan juga di Hindia-Belanda. Berbagai usaha penginjilan telah dilakukan baik oleh Gereja maupun organisasi misi. Penginjilan yang dilakukan oleh Gereja ditandai pada tahun 1835 dengan lahirnya Indische Kerk yaitu Gereja Protestan yang merupakan hasil penyatuan dari berbagai denominasi di Indonesia saat itu. Gereja ini disebut juga sebagai “Gereja Negara” namun bukan bertujuan menyebarkan agama Kristen, melainkan hanya melayani umat Kristen yang telah ada. Oleh karena itu tentu saja misi Kristen terhadap masyarakat pribumi kurang diperhatikan. Merasa prihatin dengan keadaan ini maka kelompok pekabar Injil Belanda mulai melakukan kegiatannya di berbagai wilayah seperti NZG (het Nederlandsch Zendeling Genootschaap-Perserikatan Pekabar Injil Belanda) dengan mengirimkan Jellesma pada tahun 1848 yang menandai dimulainya Kristenisasi di Jawa. Selain itu ada juga organisasi misi NGZV (Nederlandsch Gereformeerde Zending Vereeniging-Pekabaran Injil Gereja Gereformeerd Belanda) memiliki wilayah kerja di Jawa Tengah, Perserikatan Injil Menonite Belanda DZV (Doopsgezinde Zendins Vereeniging) memiliki wilayah kerja antara lain Tapanuli Selatan dan bagian utara Jawa Tengah. Jemaat-jemaat Kristen yang dihasilkan lembaga misi tersebut sangat minim dan bersifat eksklusif karena menuntut pemisahan radikal dari budaya pribumi.
Sejarah kekristenan di Jawa Tengah dan Timur justru berasal dari hasil kerja orang-orang awam pensiunan Belanda dan Indo yang mengabdikan hidupnya bagi Kristus. Mereka melakukan kegiatan misi sebelum datangnya organisasi-organisasi pekabar Injil dari Eropa. Diantara penginjil tersebut adalah Emde (lahir 1774), Coolen (1773-1873), FL Anthing (1820-1883), CP Steven-Philips (1824-1876), JC Philips-van Oostrom (1815-1877) dan lain-lainnya. Mereka berhasil membangun jemaat yang bersifat integratif yaitu jemaat Jawa yang tetap menjadi bagian dari budaya dan masyarakat setempat dan jemaat ini dapat tumbuh dengan pesat.
Adapun hambatan pekabaran Injil pada masa itu adalah bahwa orang Jawa masih memandang pekabar Injil Belanda sebagai bagian dari rezim kolonial akibatnya timbul pandangan negatif terhadap para pekabar Injil dan kekristenan. Bahkan orang Kristen Jawa disebut sebagai “landa wurung, Jawa tanggung” artinya mereka bukan orang Belanda maupun orang Jawa. Masyarakat masih menganggap bahwa menjadi Kristen berarti meninggalkan cara hidup “kejawaan” sehingga Kristen lebih dipandang sebagai anti kebudayaan.
Sadrach Dan Komunitasnya
Riwayat kelahiran Sadrach tidak begitu jelas diketahui, tetapi berdasarkan sumber yang dapat dipercaya seperti Adriaanse, Yotham Martareja dan Hayting maka Sadrach diperkirakan lahir sekitar tahun 1835 di dekat Jepara, Demak, yaitu daerah pantai bagian utara Jawa Tengah. Nama aslinya adalah Radin, setelah menyelesaikan sekolah umum yaitu sekolah Alquran serta belajar di berbagai pesantren di Jawa Timur lalu kemudian ia tinggal dalam kauman (tempat tinggal muslim yang eksklusif) di Semarang dan menambah nama Arab pada namanya menjadi Radin Abas.
Ketertarikannya kepada Kristen adalah setelah mengetahui bahwa bekas guru ngelmunya, Kurmen telah menjadi Kristen oleh penginjil Tunggul Wulung. Radin Abas sangat serius dan terkesan dengan pengajaran Tunggul Wulung dan bersamanya ia pergi ke Batavia pada tahun 1866 untuk menemui Anthing. Ia mengambil keputusan untuk dibaptis pada tanggal 14 April 1867 di Indische Kerk, Buitenkerk, dengan mengambil nama baptis Kristen yaitu Sadrach (dalam Alkitab tokoh Sadrach disebutkan dalam Kitab Daniel 3).
Setelah kembali dari Batavia, maka Sadrach mulai membantu penginjilan yang dilakukan oleh Tunggul Wulung di Semarang pada tahun 1868, serta oleh Steven-Philips di Tuksanga, Purwareja setahun kemudian. Ternyata Sadrach memiliki bakat yang besar dalam penginjilan, dalam melakukan penginjilan dia menggunakan metode debat umum yang dipakai guru-guru Jawa, yaitu dengan menantang guru lain untuk berdebat. Guru yang dikalahkan beserta murid-muridnya harus menjadi murid guru yang menang.
Sadrach tinggal bersama Steven-Philips kurang lebih satu tahun sebelum pindah ke Karangjasa sebuah desa di selatan Purworejo. Karangjasa adalah desa pertama tempat Sadrach mendirikan sebuah jemaat Kristen Jawa setempat. Karangjasa menjadi pusat jemaatnya yang mandiri namun Sadrach tetap menganggap Steven-Philips sebagai “pelindung formalnya”, “figur yang menjembatani” dengan para penguasa Belanda, termasuk Indishe Kerk dan pekabar Injil Belanda. Semua murid Sadrach dibaptis oleh pendeta dari Indische Kerk di Purwareja berkat perantaraan Steven-Philips. Pada tahun 1871 gedung Gereja pertama berdiri di Karangjasa sehingga jemaat tidak perlu lagi mengadakan perjalanan ke Purwareja setiap minggu untuk melakukan kebaktian.
Pada akhir tahun 1873 keanggotaan jemaatnya sudah mencapai hampir 2500, suatu hasil yang fantastik dalam sejarah pekabaran Injil Jawa. Sebab jumlah besar ini dicapai hanya dalam waktu 3 tahun (1870-1873), selama masa itu lima Gereja telah didirikan. Setelah meninggalnya Steven-Philips pada tahun 1876, pusat kekristenan Jawa berpindah dan berkembang dari Tuksanga, Purwareja ke Karangjasa, ini membuktikan bahwa Sadrach merupakan seorang Kiai Kristen Jawa yang berpengaruh. Hal ini ditandai pula dengan penambahan nama “baru”nya menjadi Radin Abas Sadrach Surapranata.
Pesatnya ekspansi jemaat Sadrach membuat pemerintah setempat (Residen Bagelen, W Ligvoet), Indische Kerk (pendeta Heyting) maupun NGZV (Bieger) ingin mengatur dan mengawasi jemaat tersebut dengan berbagai alasan baik politis maupun alasan misi yang ingin mengumpulkan “petobat” dengan cepat dan mudah. Sehingga ketika terjadi wabah cacar dimana pemerintah meminta semua orang agar divaksinasi tetapi Sadrach menolak vaksinasi itu maka terbukalah peluang untuk memecat Sadrach dari kedudukannya dalam jemaat.
Meskipun Residen telah menahannya namun kemudian Gubernur Jenderal membebaskannya karena tidak cukup bukti pada tahun 1882. Wilhelm yang dikenalnya ketika menjalani “tahanan rumah” di rumah Bieger merupakan satu-satunya pekabar Injil yang menaruh perhatian pada nasib malang yang menimpa Sadrach.
Pada tanggal 17 April 1883, ketika para sesepuh berkumpul di Kareangjasa, Wilhelm juga hadir. Pada pertemuan tersebut jemaat secara resmi memberi nama persekutuan mereka sebagai Golongane Wong Kristen Kang Mardiko (Kelompok orang Kristen yang merdeka) dan mengakui Wilhelm sebagai satu-satunya pendeta mereka. Pada saat itu hasil penginjilan Sadrach sangat mengagumkan, barangkali bisa dicatat sebagai jumlah orang yang bertobat tertinggi dalam sejarah pekabaran Injil di dunia Muslim.
Berbagai polemik mengenai Sadrach telah sampai kepada pimpinan NGZV di Belanda, oleh karena itu diputuskanlah suatu penyelidikan mengenai jemaat-jemaat di Jawa Tengah dengan mengirimkan Lion Cachet, pendeta sebuah jemaat di Rotterdam, ke Jawa Tengah selama kurang lebih satu tahun (1891-1892). Hasil penyelidikan Cachet telah mengakibatkan putusnya hubungan Sadrach dengan NGZV, ajaran Sadrach dinilai salah, bahkan merupakan kebohongan jika diukur dengan sabda Tuhan. Wilhelm yang sangat tertekan akibat tuduhan ini jatuh sakit dan meninggal pada tanggal 3 Maret 1892.
Namun peristiwa tragis tersebut malah membuat posisi Sadrach semakin kokoh. Di sisi lain, Sadrach juga membina hubungan dengan Apostolische Kerk (yang dianggap suatu sekte). Pada tahun 1899, Sadrach ditahbiskan menjadi Rasul Jawa di Batavia. Kedudukan rasul ini diakui internasional oleh karena itu sekarang ia memiliki hak untuk memberikan sakramen, hak yang sangat didambakannya bertahun-tahun. Sejak saat itu kedudukan Sadrach sebagai pemimpin Gereja adalah sejajar dengan pemimpin Gereja yang lain demikian juga jemaatnya sejajar dengan kelompok jemaat yang lain.
Pada tanggal 14 November 1924 dalam usia 90 tahun, tokoh besar dalam pekabaran Injil di Karangjasa, Radin Abas Sadrach Surapranata, meninggal dengan tenang dirumahnya. Yotham Martareja, anak angkat Sadrach menggantikan ayahnya selama delapan tahun (1925-1933). Perubahan ini selanjutnya juga mempengaruhi perkembangan jemaat Kristen saat itu.
Dalam ketiadaan pemimpin berkepribadian kuat serta adanya kebijakan pekabaran Injil yang baru oleh ZGKN yang dikelola secara professional, telah dibangun sekolah-sekolah dan rumah sakit misi yang menawarkan kualitas hidup lebih baik. Jemaat Sadrach semakin tertinggal jauh dan pada akhirnya jemaat Sadrach, “Gereja” terbesar di Jawa Tengah pada masa hidup Sadrach, berakhir dengan perpecahan yang tak terelakkan sepuluh tahun setelah kematian pendirinya.
Gambaran Komunitas Sadrach
Ciri-ciri khas dan karakter unik dari jemaat Sadrach meliputi tiga bidang yaitu: 1. organisasi, kepemimpinan dan keanggotaan; 2. kebaktian, khotbah dan upacara keagamaan; 3. kehidupan rohani dan jiwa yang mandiri dan merdeka.
Sadrach adalah guru ngelmu dan kiai yang sengaja tidak menaruh perhatian besar pada aspek kelembagaan jemaat. Jemaat lebih bersifat mistis, lebih menekankan spiritualitas ketimbang kelembagaan Gereja. Minimnya sarana transportasi dan komunikasi sedangkan jemaat tersebar pada desa yang berjauhan namun kesatuan antar jemaat tetap dapat dipertahankan. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal antara lain yaitu: hubungan guru-murid yang kental, wewenang Sadrach untuk mengangkat imam-imam setempat, rapat rutin para sesepuh yang diadakan di Karangjasa serta kerjasama para pembantu utama Sadrach. Wilhelm juga berperan membentuk jemaat menjadi “Gereja yang benar”, seperti dilihat dari perumusan pengakuan iman yang unik, pembentukan majelis sinode dan pembentukan jabatan sesepuh (penatua) serta diaken.
Saat itu Sadrach menduduki tempat teratas di antara guru-guru Jawa yang lain dengan sebutan khusus Kiai. Jemaat Sadrach pernah mencapai angka 7000 pada tahun 1890 dan mencapai 20.000 pada saat Sadrach meninggal. Jemaat tersebar di seluruh keresidenan Jawa Tengah termasuk pada dua kerajaan saat itu yaitu kesultanan Yogyakarta dan kasunanan Surakarta. Pemberitaan Yesus Kristus sebagai ratu adil penyelamat tampaknya menjadi unsur penarik dalam ngelmu Sadrach.
Jemaat Sadrach mempunyai format kebaktian dan sistem ritual sendiri yang terikat erat dengan tradisi Jawa yang ada, ini terlihat dari bentuk Gereja yang mirip langgar atau mesjid serta pemakaian busana Jawa pada kebaktian. Ada tembang dan dzikiran yang berisi Sepuluh Hukum Allah, Pengakuan Iman Rasuli dan Doa Bapa Kami. Sadrach menyusun buku pegangan sebagai panduan praktis bagi para pengikutnya berisi Doa Bapa Kami dan Sepuluh Perintah Allah bersama ringkasan hukum yang terdapat dalam Matius 22: 37-40. Ketika debat umum yang digunakan dengan guru ngelmu Jawa di dalam mengabarkan Injil, Sadrach menyatakan bahwa Yesus adalah Nabi yang luar biasa karena kebangkitan-Nya dan menjadi Juruslamat yang dapat menyelamatkan semua orang berdosa. Yesus melebihi Nabi lainnya dan kita harus taat kepada Nabi yang paling berkuasa dan mengikuti teladan-Nya. Usaha para anggota jemaat Sadrach untuk mengkristenkan adat dan tatacara muslim Jawa mengesankan, mereka tetap mempertahankan warisan leluhur tanpa mengingkari iman baru mereka dengan mengutamakan kebaktian dan doa ucapan syukur dan dilanjutkan dengan adat kebiasaan Jawa. Sadrach menolak tatacara adat slametan untuk menghormati roh yang sudah meninggal, suran pada bulan sura dan muludan.
Kehidupan spiritual baru jemaat Sadrach terlihat dari cara kehidupan ngelmu (berorientasi kepada diri sendiri) berangsur-angsur diubah menjadi kehidupan dalam Kristus (penyangkalan diri). Perilaku jujur Sadrach mempengaruhi kehidupan jemaat sehingga menjadi saksi pemasyuran Injil yang efektif ditengah-tengah masyarakat Jawa yang bukan Kristen. Sadrach menentang keras poligami, pelacuran dan melarang pesta tradisional tayuban. Mereka tetap menjaga hubungan baik dengan tetangga muslim. Jemaat benar-benar menyadari bahwa sebagai pengikut ratu adil Yesus Kristus, mereka harus menaati perintah-Nya. Guru Injil dan para imam Jawa menganggap Sepuluh Perintah Allah sebagai ngelmu dari ratu adil yang harus ditaati. Mereka menganggap ngelmu yang diajarkan ratu adil Yesus, lebih unggul dibanding segala ngelmu yang lain. Sebagai jemaat yang bebas dan mandiri (mardiko) maka masalah kemiskinan diatasi melalui semangat gotong royong menyewa tanah untuk dibagikan kepada kaum miskin.
Isu-Isu Yang Diangkat Mengenai Komunitas Sadrach
Tuduhan yang paling menonjol pada saat itu terhadap Sadrach dan jemaatnya pada saat itu adalah berkaitan dengan penyimpangan konfesional. Seperti diketahui bahwa para pakar Gereformeerd sangat menentukan arah teologi pekabaran Injil yang khas dari NGZV. Pada saat itu tujuan pekabaran Injil berkembang untuk memenangkan jiwa-jiwa bagi kemulian Tuhan. Gereja adalah pemilik misi sedangkan organisasi misi seperti NGZV adalah pengganti sementara Gereja dalam menjalankan misi. Kemurnian pemberitaan firman dan mempertahankan iman yang ortodoks adalah ciri pekabaran Injil Gereformeerd yang eksklusif pada saat itu, tujuan utama pekabaran Injil adalah mendirikan Gereja sebagai institusi. Pada abad XIX, kriteria dari Gereja Gereformeerd menjadi tolok ukur satu-satunya bagi para pekabar Injil untuk menentukan ajaran benar dan ajaran sesat. Lion Cachet menggunakan standar ini untuk mengukur kehidupan jemaat Kristen di Jawa Tengah.
Tuduhan yang paling keras terhadap Sadrach baik sebelum maupun sesudah peristiwa vaksinasi adalah bahwa dia menyatakan dirinya sebagai Kristus atau ratu adil dan Sadrach dianggap telah melakukan penipuan terhadap umatnya dengan memutarbalikkan ajaran demi kemulian dan status sosialnya. Isu ini tentu saja dilontarkan oleh para pekabar Injil yang selama ini tidak senang dengan cara penginjilan Sadrach yang menolak untuk bekerjasama dengan mereka. Para pekabar Injil menganggap bahwa Sadrach perlu dibina dan tidak boleh menempati kedudukan sebagai pemimpin jemaat. Oleh karena itu pertentangan Sadrach dengan para pekabar Injil sebenarnya bukan karena masalah doktrin, melainkan masalah kekuasaan atau kalau boleh disebut sebagai suatu keinginan untuk melakukan penjajahan rohani.
Persoalan lain yang mendasar menyangkut ajaran Sadrach adalah tuduhan sinkretisme, ia dituduh telah mencampuradukkan Jawa-isme dengan Injil. Ajaran ngelmu, ratu adil, adat Jawa dari sudut pandang Gereformeerd pada saat itu dianggap memutarbalikkan ajaran Kerajaan Allah. Namun Sadrach bersikeras bahwa petobat Jawa tetap merupakan orang Jawa, ia membela dan mendukung pelestarian adat yang berfungsi memperkaya kehidupan spiritual jemaat.
Secara garis besar tuduhan yang diangkat untuk melawan Sadrach, oleh penulis buku dibagi menjadi dua jenis yaitu, tuduhan yang tidak mendasar dan tuduhan yang mendasar. Semua tuduhan yang mendasar berpangkal tolak dari perbedaan pendapat mengenai sifat utama dan penerapan kontekstualisasi dalam praktek pekabaran Injil kepada orang-orang Jawa. Menurut penulis para penginjil Barat memandang kontekstualisasi dari sudut pandang yang berbeda sebab pedoman teologis mereka belum cukup komprehensif sehingga mereka lebih mengandalkan semangat, inisiatif dan kreativitas dalam melaksanakan tugas di lapangan.
Pustaka :
1. Sutarman S Partonadi, 2001. Komunitas Sadrach dan Akar Kontekstualnya Jakarta: Gunung Mulia; Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen.


3 comments

  1. Unknown  

    25 April 2012 at 12:23

    wah.. keren mbak jadi pengen kembali ke masa lalu dan ikut berdakwa... he he he

  2. Unknown  

    25 April 2012 at 12:26

    berdakwah memperjuangkan Islam maksudnya...

  3. Anggi Dungita Putri  

    4 May 2012 at 13:42

    Mksh mas,,,,g bermaksud myebarkan paham mas tu cuma resensi Buku...jgn lupa follow blogku...:)

Blogger templates

lt;noscript>Feedjit Live Blog Stats≶/noscript>
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. History Blog - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger